Muslimah

Muslimah
Remaja Muslimah Berani Jihad!

Kamis, 21 Februari 2013

Mungkinkah bagi seorang Rafidhah (Syiah) mengorbankan darah mereka demi membebaskan Al Aqsha?!

Mungkinkah bagi seorang Rafidhah (Syiah) mengorbankan darah mereka demi membebaskan Al Aqsha?!
(Arrahmah.com) – Kepada mereka yang telah mengijinkan dibangunnya Al Husainiyat (kuil ibadah Syiah) di Gaza, dan menaburkan karangan bunga indah di kubur Ayatullah Khumaini…
Kepada mereka yang mengetahui panji-panji Hizb setan dan mengelu-elukannya! Camkan dan perhatikan realitas ini…
(Pada saat ditulis kata-kata ini, khususnya ditujukan pada para ‘petinggi Hamas’ yang menjalin hubungan mesra dengan Hizbullah, sayap militer Syiah di Libanon Selatan, dan melakukan lawatan ke Iran bertemu Ahmadinejad serta ‘nyekar’ ke makam para ayatullah di Qom. Pent)
Segala puji bagi Allah, salawat dan salam selalu tercurah untuk rasulNya saw.
Selanjutnya: Salah seorang ulama besar Syiah abad ini (Jafar Murtada Al Amili) telah menulis sebuah buku berjudul “Di Manakah Masjid Al Aqsha?” serta buku yang lain berjudul “Shahih Sirah Sang Rasul Agung”. Ia mengklaim bahwa masjid Al Aqsha yang sebenarnya, seperti dilihat Nabi saw ketika Israa dan Mi’raj bukan berada di bumi tapi berada di langit/surga. Ini artinya bagi kaum Syiah, Masjid Al Aqsha saat ini, di mana seluruh Ummat Islam tengah berjihad demi membebaskannya, tidak punya arti apa-apa dan hanya sebuah ‘masjid palsu’ sehingga tidak layak berkorban apapun demi membelanya! Dan menurut Syiah, tidak ada masalah jika Yahudi menghancurkannya.
Untuk menghindari orang jahil yang akan berkomentar bahwa pernyataan ini hanyalah keyakinan subyektif sang penulis atau sekedar interpretasi pribadi dari si ulama Syiah ini, dan tidak ada hubungannya dengan segenap ayatullah, serta negeri Iran, serta kebijakan politiknya… maka kami akan jelaskan hal berikut:
Pertama: penulis buku ini, yang telah menyatakan dalam bukunya bahwa Al Aqsha itu berada di langit dan bukan di bumi, maka ia telah mendapatkan penghargaan dan kehormatan dari presiden Mahmud Ahmadinejad sendiri, bahkan bukunya tersebut telah ditetapkan sebagai buku terbaik di Iran. Camkan dan perhatikan; Buku terbaik di Iran! Mengapa?
Dan disebutkan dalam buku terbaik itu (menurut Iran dan presidennya), bahwa orang-orang jahil (maksudnya mayoritas ummat Islam. Pent) berharap dapat berziarah ke negeri: “di mana terletak Masjid Al Aqsha, yang dilihat Nabi saw pada Israa Mi’raj, negeri yang diberkahi Allah, (di mana masjid tersebut) sebenarnya terletak di langit”". (Shahih Sirah Sang Rasul Agung, Al Amili, 3/106).
Dan disebutkan pula di dalam buku itu: “ketika Umar (ibn Khattab) memasuki Yerusalem, di sana tidak ada bangunan masjid satupun, apalagi masjid yang dinamakan Al Aqsha”. (Shahih Sirah Sang Rasul Agung – The Saheeh from the seeerah of the great prophet, Al Amili, 3/137, edisi keenam 1427 H, 2006 M, the Islamic Institute for studies)
Dan masih dalam buku yang sama Al Amili berkata: “sangat jelas bagi kita atas berbagai fakta tentang Al Aqsha, telah ditegaskan bahwa masjid tersebut bukanlah satupun masjid yang berada di Palestina!!”.
Kedua: Al Amili sesungguhnya telah melakukan satu usaha penting dalam menegaskan kembali apa yang sesungguhnya telah ditegaskan oleh segenap ulama dan literatur Syiah terkait dengan keyakinan (aqidah) bahwa Al Aqsha itu berada di langit, dan bukan sebuah masjid yang berada di Yerusalem sebagaimana kita ketahui saat ini, di mana segenap Ummat.
Islam tengah berjuang demi membebaskannya dari cengkeraman Yahudi! Dan hal ini tidak lebih dari penyampaian ulang keyakinan yang menjadi fondasi aqidah resmi Syiah, bukan interpretasi subyektif seorang penulis, atau pemahaman menyimpang yang ditolak oleh mereka.
Mari kita paparkan di antara bukti-buktinya. Dari salah satu kitab rujukan Syiah “Bihaar Al Anwaar” yang ditulis Al Majlisi: “Diriwayatkan oleh Abu Abdullah alaihisalam bahwa ia berkata: Saya bertanya padanya tentang masjid-masjid yang utama, Beliau berkata; Al Haram dan Masjid Nabawi. Lalu saya bertanya; Bagaimana dengan Masjid Al Aqsha, ia menjawab bahwa itu berada di langit ketika Nabi saw melakukan perjalanan Mi’raj. Lalu saya bertanya; tetapi orang-orang berkata bahwa itu berada di Yerusalem? Ia menjawab; masjid di Kuffah lebih baik dari itu!” (Bihaar Al Anwaar, Al Majlisi, 90/22) [1]
Maka ini menjadi lampu hijau dari kalangan Syiah dan Iran kepada (saudara ‘terselubung’ mereka) Yahudi untuk menghancurkan Al Aqsha dan mendirikan di atas reruntuhannya kuil peribadatan mereka.
Jadi, bagaimana sikap orang-orang jahil tersebut, pada kenyataan ini? Bagaimana sikap mereka terhadap Syiah, Iran serta Hizbusy Syaithan (bukan Hizbullah. Pent) yang selalu mengklaim bahwa mereka akan berjuang membebaskan Palestina dan Yerusalem, padahal mereka tengah menipu banyak sekali ummat Islam yang naif dan jahil tentang masalah ini, sementara mereka sendiri berkeyakinan bahwa Al Aqsha itu ada di langit, dan bukan di Palestina atau Yerusalem! Bahkan menurut mereka, masjid di Kuffah lebih baik dari Al Aqsha…
Ketiga: sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kaum Syiah memberi perhatian lebih sedikit kepada 3 masjid yang disampaikan dalam hadits nabi tentang berziarah ke masjid tersebut, sementara mereka lebih mementingkan berziarah ke kuburan para ulama serta imam-imam mereka seperti Karbala. Mereka menganggap bahwa segenap kubur para imam tersebut bahkan lebih utama dari 3 masjid suci yang disunnahkan berziarah ke sana sebagaimana diyakini kalangan Ahlu Sunnah.
Banyak sekali keterangan dari literatur aqidah Syiah tentang hal ini. Kami akan sebutkan beberapa di antaranya:
Dari Abu Abdullah, dia berkata: “Siapa berziarah ke makam Al Husain pada hari Arafah, maka Allah akan mencatatkan kepadanya berjuta pahala naik haji bersama Al Qaim radliallahu anhu, dan berjuta pahala naik haji bersama Rasulullah, dan dicatatkan ia telah membebaskan ribuan budak, dan mempersembahkan ribuan kuda untuk berjihad fi sabilillah. Dan Allah akan memanggilnya di hari kiamat sebagai hamba Allah saleh yang meyakini seluruh janjiNya demikian pula para malaikat akan memujinya. Allah akan mensucikan dia di bawah ArasyNya, dan memanggilnya di bumi dengan sebutan “Al Karubiya”". (Wasaail Asy Syiah, 10/360)
Dan ayatullah mereka Abdul Husain berkata tentang hal ini: “Allah melimpahkan kasih sayangNya pada makam Al Husain dan menjadikannya tempat tujuan berhaji selain baitullah (di Makkah) bagi mereka yang tidak mampu berhaji ke baitullah. Dan pahalanya bagi mereka yang meyakini adalah lebih utama dari pahala berhaji ke baitullah”. (Ats Tsaura Al Husainiyah hlm 51)
Dari Abu Abdullah dia berkata: “Allah pertamakali akan melihat orang-orang yang berhaji ke makam Husain pada sore hari Arafah sebelum Dia melihat orang-orang yang wukuf di Arafah. Orang bertanya; bagaimana bisa seperti itu? Ia menjawab; karena di sini (maksudnya wukuf di makam Husain) terdapat anak-anak keturunan mu’tah, sementara di sana tidak terdapat anak-anak keturunan mu’tah”. (Wasail Asy Syiah 10/361)
Semoga Allah menghinakan para penyimpang, anak-anak keturunan mu’tah!

Al Jafar Shadi berkata: “Bumi di bawah Ka’bah berkata; Siapakah yang menandingi aku, sementara bait Allah dibangun di atas aku, dan manusia datang kepadaku dari segala penjuru, dan aku telah ditetapkan sebagai tanah yang suci dan tempat yang aman. Maka Allah mewahyukan kepadanya; Berhentilah dan menepilah! Apa yang telah Aku limpahkan kepadamu dibandingkan dengan kemuliaan bumi Karbala seperti air yang menetas dari ujung jarum dibandingkan dengan lautan. Kalaulah bukan demi Karbala maka engkau tidak akan Aku limpahkan kemuliaan. Kalaulah bukan demi Karbala Aku tidak akan menciptakanmu dan membangun bait Allah di atasmu yang selalu engkau banggakan. Karena itu berhentilah dan diamlah, dan jadilah engkau tunduk merendah, jangan membangkang dan menyombongkan diri atas tanah Karbala atau Aku akan menenggelamkanmu dan melemparkanmu ke api neraka”. (Aamil Az Zariyat hlm 270, dan Bihaar Al Anwaar oleh Al Majlisi 101/190, juga disebutkan dalam Haqqul Yaqin hlm 145)
Disebutkan di dalam Al Wafi oleh Al Fayd Al Kashani dalam bab tentang keutamaan Kuffah serta masjidnya, pada jilid kedua hlm 215: “Wahai penduduk Kuffah, Allah mencintaimu melebihi anak keturunan Adam, Nuh, Idris, dan Ibrahim. Dan hari-hari akan berlalu hingga Hajar Aswad akan dipancangkan di sini”.
Dan diriwayatkan oleh Al Kaliini dari Abu Abdullah bahwa dia berkata: “Sungguh jika orang beriman mandi di sungai Furat pada hari Arafah lalu pergi ke makam Husain, maka setiap langkahnya sama dengan pahala haji yang memenuhi seluruh rukunnya, dan d iriwayat lain disebutkan: sama dengan Futuh Makkah”. (Furuu’ Al Kafi 4/580).
Sebagaimana diriwayatkan salah seorang panutan Syiah Muhammad Sadiq Al Sadr yang mengatakan bahwa kubur Imam Ali radliallahu anhu lebih utama daripada Ka’bah, sehingga segala bentuk kesyirikan dan ziarah yang mereka lakukan di sana lebih utama daripada berhaji ke baitullah di Makkah. Ia berkata: “Telah nyata pada kita berdasarkan berbagai keterangan, bahwa Karbala lebih utama daripada bait Allah (Ka’bah). Dan kita juga memahami bahwa Imam Ali lebih utama daripada Husain. Maka makam Imam Ali lebih mulia daripada makam Husain, sehingga sudah barang tentu juga lebih mulia daripada Ka’bah”. (Al Masalah [9] hlm 5 ‘min kasarat al masail al diniyah wa ajwibatiha’, bab kedua)
Disebutkan dalam buku Minhaj As Salihin oleh Al Khui tentang keutamaan para imam pada jamannya: “Lebih utama shalat di bawah naungan makam para aimmah. Dan ia menyebutkan, lebih utama shalat di makam mereka daripada masjid-masjid. Dan shalat di makam Ali setara 200.000 derajat shalat di masjid biasa”.
Sementara Al Khui berkata tentang keutamaan shalat di Masjid Nabawi: “Shalat di Masjid Nabawi setara dengan 10.000 derajat shalat di masjid biasa”.
Jadi, shalat di makam Imam Ali lebih mulia 20 kali daripada shalat di Masjid Nabawi.
Imam masjid kota Al Mashad di Iran, Ayatullah Ahmad Ilm Al Huda bahkan berani berkata bahwa kota Mashad seharusnya menjadi kiblat kaum Muslimin menggantikan Makkah pada setiap shalat Jumat, sebagaimana ditulis oleh agensi berita Iran “Faris”, alasannya karena tanah Hijaz telah menjadi korban Wahabisme, sementara Iraq telah dijajah oleh orang-orang kafir, sehingga kota suci Al Mashad layak menjadi pusat ibadah kaum Muslimin.
Ia juga menambahkan bahwa kota Al Mashad dikunjungi tidak kurang dari 800.000 peziarah dari luar Iran dan 20 juta dari dalam Iran setiap tahun. Ia juga menyebutkan bahwa Al Mashad adalah kota spiritual dan kota ilmu bahkan sebelum keberadaan Imam Ridha, Imam kedelapan Syiah. Ia mengklaim bahwa Nabi saw menyanjungnya sebagai tanah suci dan tempat penyebaran Islam.
Jadi, jika demikian keyakinan para penganut Syiah terhadap bait Allah, atau Masjid Nabawi, maka tidak usah terkejut tentang keyakinan dan perasaan mereka (sesungguhnya) terhadap Al Aqsha di Yerusalem.
Dan mereka mengumumkan (kembali) dalam buku-buku yang dicetak dan disebarluaskan, serta mendapat penghargaan bergengsi dari pemerintahnya, bahwa mereka tidak mengenal Masjid Al Aqsha. Biarlah Yahudi melanjutkan penghancuran Baitul Maqdis dan membangun kuil mereka di atas reruntuhannya.
Keempat: segenap pembaca harus diingatkan kembali pada salah satu hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Dajjal akan bangkit, dan bersamanya akan mengikuti 70.000 kaum Yahudi dari Isfahan mengenakan selendang persia”.
Dalam hadits tersebut ada kata ‘tayalisa’, merupakan bentuk jamak dari kata tunggal ‘taylasan’, adalah bukan kata asli dari Arab tetapi serapan dari kata asing. Taylasan adalah nama untuk bentuk pakaian yang diselempangkan di bahu dan seluruh tubuh, tidak dijahit dan tidak dipotong. Ia merupakan baju khas kaum Yahudi Iran saat ini. Sementara daerah Isfahan dahulu dikenal dengan nama Yahudiya, dikarenakan banyaknya orang Yahudi yang tinggal di sana.
Ibnu Hajar Al Atsqalani berkata dalam Fathul Bari: “Abu Naim berkata tentang sejarah Asbahan; Yahudiya adalah nama desa dan kampung di Asbahan. Dan disebut Yahudiya karena perkampungan tersebut didiami oleh orang Yahudi. Dan tetap namanya seperti itu sampai Ayub bin Ziyad, salah seorang pangeran kesultanan Mesir pada jaman Al Mahdi bin Manshur, menjadikannya bagian wilayah Mesir dan mulai mengijinkan Muslim tinggal di sana. Sementara beberapa kampung tetap dihuni orang Yahudi”.
Dan satu informasi terakhir agaknya akan membuat Anda terkejut, yang akan kami sampaikan:
Disebutkan dalam buku Al Kafi yang ditulis Al Kilani, diriwayatkan dari Abu Abdullah bahwa ia berkata: “Ketika seseorang dari keturunan Muhammad tiba (menjelang akhir jaman), ia akan menghukum di antara manusia dengan kitab Daud alaihi salam”. Bagaimana bisa kitab Daud, dan bukan kitab Muhammad?
Mengapa mereka menantikan seseorang (Imam Mahdi) yang akan menegakkan hukum Daud dan bukan Syariat Muhammad saw? Pertanyaan ini harus dijawab oleh para ayatullah itu dan segenap penyanjung mereka di Gaza dan tempat lainnya.
Diriwayatkan oleh Al Numani penulis kitab Al Ghaibah: “Ketika sang Imam itu (Imam Mahdi) mengumandangkan adzan, maka ia akan menyeru Allah dengan sebutan Yahwa”.
Sungguh aneh: kata “Yahwa” atau “Yahweh” adalah bahasa Ibrani yang dipakai orang Yahudi dalam kitab suci mereka. Jadi saya heran mengapa sang Imam itu nanti akan menyebut Allah dengan kata ini dan bukan kata yang biasa dipakai oleh orang Muslim?
Kebenaran dari segenap keganjilan ini harus dijawab, dan mereka yang layak untuk menjawabnya adalah para ayatullah dari Khom itu serta segenap pengagumnya di berbagai tempat. Dan pertanyaan terakhir kami harus dijawab pula oleh mereka:
Sampai kapan orang-orang yang acuh ini menunggu kaum Syiah datang untuk membebaskan Al Aqsha? Kemudian mereka mengunjungi Teheran, dan menaburkan karangan bunga indah di makam Ayatullah Khumaini, dan mengibarkan panji-panji ‘hizbusy Syaitan’, dan melemparkan diri mereka ke dalam pelukan Syiah?

Ditulis oleh: Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdese 12 Juni 2010 
Sorce: www.tawhed.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar