Muslimahzone.com- Sejak memutuskan
untuk berjilbab, sosok Sandrina Malakiano tak lagi membawakan berita, Ia
menghilang. Metro TV tempat ia bekerja dikecam karena melarang Sandrina
Malakiano mengenakan jilbab pada saat siaran, meskipun Sandrina sudah
memperjuangkannya selama berbulan-bulan dengan mengajak jajaran pimpinan level
atas Metro TV berdiskusi panjang. Larangan inilah, alasan Sandrina keluar dari
Metro TV.
(Curhat dari
seorang Sandrina Malakiano dari Facebook-nya Sandrina Malakiano Fatah)
Setiap kali
sebuah musibah datang, maka sangat boleh jadi di belakangnya sesungguhnya
menguntit berkah yang belum kelihatan. Saya sendiri yakin bahwa ” sebagaimana
Islam mengajarkan ” di balik kebaikan boleh jadi tersembunyi keburukan dan di
balik keburukan boleh jadi tersembunyi kebaikan.
Saya sendiri
membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakai hijab sejak pulang
berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itu saya buat, sesuai dugaan,
ujian pertama datang dari tempat saya bekerja, Metro TV.
Sekalipun tanpa
dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan untuk siaran karena
berjilbab. Pimpinan Metro TV sebetulnya sudah mengijinkan saya siaran dengan
jilbab asalkan di luar studio, setelah berbulan-bulan saya memperjuangkan
izinnya. Tapi, mereka yang mengelola langsung beragam tayangan di Metro TV
menghambat saya di tingkat yang lebih operasional. Akhirnya, setelah enam bulan
saya berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orang dalam
jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa pintu memang
sudah ditutup.
Sementara itu, sebagai
penyiar utama saya mendapatkan gaji yang tinggi. Untuk menghindari fitnah
sebagai orang yang makan gaji buta, akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar
tanggungan selama proses negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya
tak memperoleh penghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada
institusi Metro TV.
Setelah berlama-lama
dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat ada sinar di ujung lorong yang
gelap, akhirnya saya mengundurkan diri. Pengunduran diri ini adalah sebuah
keputusan besar yang mesti saya buat. Saya amat mencintai pekerjaan saya
sebagai reporter dan presenter berita serta kemudian sebagai anchor di
televisi. Saya sudah menggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di
TVRI Denpasar, ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV
internasional, TVRI Pusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya
kehilangan pekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya.
Tetapi, dengan penuh
keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yang terbaik dan bahwa dunia tak
selebar daun Metro TV, saya bergeming dengan keputusan itu. Saya yakin di balik
musibah itu, saya akan mendapat berkah dari-Nya.
Hikmah Berjilbab
Benar saja. Sekitar
satu tahun setelah saya mundur dari Metro TV, ibu saya terkena radang pankreas
akut dan mesti dirawat intensif di rumah sakit. Saya tak bisa membayangkan,
jika saja saya masih aktif di Metro TV, bagaimana mungkin saya bisa mendampingi
Ibu selama 47 hari di rumah sakit hingga Allah memanggilnya pulang pada 28 Mei
2007 itu. Bagaimana mungkin saya bisa menemaninya selama 28 hari di ruang rawat
inap biasa, menungguinya di luar ruang operasi besar serta dua hari di ruang
ICU, dan kemudian 17 hari di ruang ICCU?
Hikmah lain yang saya
sungguh syukuri adalah karena berjilbab saya mendapat kesempatan untuk
mempelajari Islam secara lebih baik. Kesempatan ini datang antara lain melalui
beragam acara bercorak keagamaan yang saya asuh di beberapa stasiun TV. Metro
TV sendiri memberi saya kesempatan sebagai tenaga kontrak untuk menjadi host
dalam acara pamer cakap (talkshow) selama bulan Ramadhan.
Karena itulah, saya
beroleh kesempatan untuk menjadi teman dialog para profesor di acara
Ensiklopedi Al Quran selama Ramadhan tahun lalu, misalnya. Saya pun mendapatkan
banyak sekali pelajaran dan pemahaman baru tentang agama dan keberagamaan.
Islam tampil makin atraktif, dalam bentuknya yang tak bisa saya bayangkan
sebelumnya. Saya bertemu Islam yang hanif, membebaskan, toleran, memanusiakan
manusia, mengagungkan ibu dan kaum perempuan, penuh penghargaan terhadap
kemajemukan, dan melindungi minoritas.
Saya sama sekali tak
merasa bahwa saya sudah berislam secara baik dan mendalam. Tidak sama sekali.
Berjilbab pun, perlu saya tegaskan, bukanlah sebuah proklamasi tentang
kesempurnaan beragama atau tentang kesucian. Berjibab adalah upaya yang amat
personal untuk memilih kenyamanan hidup.
Berjilbab adalah
sebuah perangkat untuk memperbaiki diri tanpa perlu mempublikasikan segenap
kebaikan itu pada orang lain. Berjilbab pada akhirnya adalah sebuah pilihan
personal. Saya menghormati pilihan personal orang lain untuk tidak berjilbab
atau bahkan untuk berpakaian seminim yang ia mau atas nama kenyamanan personal
mereka. Tapi, karena sebab itu, wajar saja jika saya menuntut penghormatan
serupa dari siapapun atas pilihan saya menggunakan jilbab.
Hikmah lainnya adalah
saya menjadi tahu bahwa “fundamentalisme” bisa tumbuh di mana saja. Ia bisa
tumbuh kuat di kalangan yang disebut puritan. Ia juga ternyata bisa berkembang
di kalangan yang mengaku dirinya liberal dalam berislam.
Tak lama setelah
berjilbab, di tengah proses bernegosiasi dengan Metro TV, saya menemani suami
untuk bertemu dengan Profesor William Liddle ” seseorang yang senantiasa kami
perlakukan penuh hormat sebagai sahabat, mentor, bahkan kadang-kadang orang tua
” di sebuah lembaga nirlaba. Di sana kami juga bertemu dengan sejumlah teman,
yang dikenali publik sebagai tokoh-tokoh liberal dalam berislam.
Saya terkejut
mendengar komentar-komentar mereka tentang keputusan saya berjilbab. Dengan
nada sedikit melecehkan, mereka memberikan sejumlah komentar buruk, sambil
seolah-olah membenarkan keputusan Metro TV untuk melarang saya siaran karena
berjilbab. Salah satu komentar mereka yang masih lekat dalam ingatan saya
adalah, Kamu tersesat. Semoga segera kembali ke jalan yang benar.
Saya sungguh terkejut
karena sikap mereka bertentangan secara diametral dengan gagasan-gagasan yang
konon mereka perjuangkan, yaitu pembebasan manusia dan penghargaan hak-hak
dasar setiap orang di tengah kemajemukan.
Bagaimana mungkin
mereka tak faham bahwa berjilbab adalah hak yang dimiliki oleh setiap perempuan
yang memutuskan memakainya? Bagaimana mereka tak mengerti bahwa jika sebuah
stasiun TV membolehkan perempuan berpakaian minim untuk tampil atas alasan hak
asasi, mereka juga semestinya membolehkan seorang perempuan berjilbab untuk
memperoleh hak setara? Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran bahwa dengan
kepala yang ditutupi jilbab maka kecerdasan seorang perempuan langsung meredup
dan otaknya mengkeret mengecil?
Bersama suami, saya
kemudian menyimpulkan bahwa fundamentalisme “mungkin dalam bentuknya yang lebih
berbahaya” ternyata bisa bersemayam di kepala orang-orang yang mengaku liberal.
***
Catatan: Pada Mei 2006, keputusan yang
sulit pun akhirnya ia ambil. Sandrina resmi keluar dari stasiun televisi
itu.
Sumber: atjehcyber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar